Jumat, 20 Desember 2013

IJTIHAD


PEMBAHASAN
IJTIHAD

 

A.  Pengertian Ijtihad
Ijtihad berasal dari kata jahada. Artinya mencurahkan segala kemampuan atau menanggung beban kesulitan. Menurut bahasa, ijtihad adalah mencurahkan semua kemampuan dalam segala perbuatan. [1]
Adapun ijtihad menurut para ahli ushul fiqh ialah pengerahan daya pikir untuk menemukan suatu ketentuan hukum syara’. Adapun orang yang berkecimpung dalam bidang ini dinamakan mujtahid.
A.Wasit Awlawi mendefinisikan bahwa ijtihad ialah mencurahkan daya dan kemampuan intelektual untuk memperoleh jawaban hukum syara’ dari dalil-dalilnya.
Jadi, berijtihad berarti menyelidiki dalil-dalil hukum dari sumbernya yang resmi, yaitu Al-Qur’an dan Hadis Rasulullah SAW., kemudian menarik garis hukum darinya dalam masalah tertentu atau beberapa masalah. Misalnya, berijtihad dari Al-Qur’an dan Hadis mengalirkan garis kewarisan, hukum perkawinan atau keduanya. Orang yang melakukan ijtihad dinamakan mujtahid. Jamaknya adalah mujtahidin. Hasil ijtihadnya adalah qiyas, istihsan, atau ijma’ atau garis hukum baru tentang suatu masalah. [2]



B.  Dasar Hukum Ijtihad.
Para ulama ushul fiqih menganggap ijtihad secara sah dapat dijadikan dalil hukum dengan berbagai dasar, diantaranya:
a) Qs. An-Nissa ayat 59 
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Ayat ini menunjukan bahwa jika ada perselisihan pendapat di antara ulama tentang hukum suatu masalah, maka jalan keluarnya dengan mengembalikannya pada al-quran dan sunnah rasulullah. Cara mengembalikannya antara lain dengan melakukan ijtihad. 
b) Hadis rasulullah yang berisi dialog antara Rasulullah dengan Mu’az bin Jabal ketika ia dikirim untuk menjadi hakim di Yaman.

عَنْ الحَرِثِ بْنِ عَمْرٍو عَن رِجَالٍ مِنْ اَسْحَابِ مُعَادٍ أَنَّ رَسُولَ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ مُعَاذًا الَى اليَمَنِ فَقَال: كَيْفَ تَقْضِي فَقَال أَقْضِي بِمَا فِي كِتابِ الله قَال فإِنْلَم يَكُنْ في كِتابِ الله قَال فَبِسُنَّةِ رَسُوْلِ الله صَلّى الله عَليْه وَ سَلّم قَال فإِنْلَم يَكُنْ
في سُنَّةِ رَسُول الله صَلّى الله عَليهِ وَ سَلّم قَال أَجْتَحِدُ رَأْيِي قَال الْحَمْدُل الله الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ الله صَلَّى الله عَلَيهِ وَ سَلَّمَ .{ رواه الترمذى}
Dari al-Harits bin Amr, dari sekelompok orang teman-teman Mu’az, sesungguhnya Rasulullah SAW mengutus Mu’az ke yaman, maka beliau bertanya kepada Mu’az, atas dasar apa kamu memutuskan suatu persoalan, dia jawab, dasarnya adalah Kitab Allah, Nabi bertanya: “Kalau tidak kamu temukan dalam kitab Allah?”, dia menjawab dengan dasar sunnah Rasulullah SAW. Beliau bertanya lagi: “Kalau tidak anda temukan dalam sunnah rasul?”, Mu’az menjawab aku akan berijtihad dengan penalaranku, maka nabi berkata: “Segala pujian bagi Allah yang telah memberi tawfiq atas diri utusan Rassulullah SAW. (HR. Tirmidzi) [3]

C. Kedudukan dan Fungsi Ijtihad
Para ulama Ushul Fiqh antara lain al-tayyib Khuderi al-Sayyid, seorang ahli ushul fiqh berkebangsaan mesir berpendapat bahwa bila mana syarat-syarat untuk berijtihad telah cukup pada diri seseorang, hukum melakukan ijtihad adalah fardhu ‘ain, bisa juga fardhu kifayah, bisa mandub (sunah), dan bisa pula menjadi haram.
1. Hukum fardhu ‘ain. Jika dilakuakan seseorang yang telah mencukupi syarat bilamana terjadi pada dirinya sesuatu yang membutuhkan jawaban hukumnya.
2. Hukum fardhu kifayah. Jika di sampingnya ada lagi mujtahid lain yang akan menjelaskan hukumnya. Bila salah satu dari mereka telah berijtihad, maka meraka sudah lepas dari tuntutan untuk berijtihad.
3. Hukumnya sunnah. Terbagi dalam dua hal, yaitu:
a) Melakuakan ijtihad kepada hal yang belum terjadi tanpa ditanya, seperti yang dilakukan oleh Imam Abu Hanifah yaitu tentang fiqih ifradhi (fiqih pengandaian).
b) Melakukan ijtihad-ijtihad pada masalah yang belum jadi berdasarkan pertanyaan seseorang.
4. Hukumnya haram, apabila:
a) Berijtihad dalam hal-hal yang ada nash yang tegas (qath’iy) baik berupa ayat atau hadits Rasulullah, atau hasil ijtihad itu menyalahi ijma’.
b) Berijtihad bagi seseorang yang tidak melangkapi syarat-syarat sebagai mujathid, karena oarang yang tidak memenuhi syarat ijtihadnya tidak akan menemukan kebenaran, karena berbicara tanpa ilmu hukumnya adalah haram.

Ø      Fungsi Ijtihad
Imam Syafi’I ra (150 H-204 H), penyusun pertama Ushul Fiqh, dalam bukunya Ar-Risalah, ketika menggambarkan kesempurnaan Alqur’an menegaskan: “Maka tidak terjadi suatu peristiwa pun pada seorang pemeluk agama Allah, kecuali dalam kitab Allah terdapat petunjuk tentang hukumnya”. Menurutnya, hukum-hukum yang dikandung oleh al-qur’an yang bisa menjawab berbagai permasalahan itu harus digali dengan kegiatan ijtihad.
Oleh karena itu, menurutnya, Allah mewajibkan kepada hamba-Nya untuk berijtihad dalam upaya menimba hukum-hukum dari sumbernya itu. Selanjutnya ia mengatakan bahwa Allah menguji ketaatan seseorang untuk melakukan ijtihad, sama halnya seperti Allah menguji ketaatan hamba-Nya dalam hal-hal yang diwajibkan lainnya.
Pernyataan Imam Syafi’i di atas, menggambarkan betapa pentingnya kedudukan ijtihad di samping Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Ijtihad berfungsi baik untuk menguji kebenaran riwayat hadis yang tidak sampai ke tingkat hadis mutawatir seperti hadis ahad, atau sebagai upaya memahami redaksi ayat atau hadis yang tidak tegas pengertiannya sehingga tidak langsung dapat dipahami kecuali dengan ijtihad, dan berfungsi untuk mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah seperti dengan qiyas, istihsan, dan masalah mursalah. Hal yang disevut terakhir ini, yaitu pengembangan prinsip-prinsip hukum dalam alqur’an dan sunnah adalah penting.
D. Lapangan Ijtihad
Para ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa ayat-ayat atau hadis rasulullah yang sudah tidak diragukan lagi kepastiaanya (qath’i) datang dari Allah atau Rasul-Nya, seperti alqur’an dan hadis mutawatir (hadis yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang tidak mungkin berbohong), bukan lagi merupakan lapangan ijtihad dari segi periwayatannya. Alqur’an yang beredar di kalangan umat islam sekarang ini adalah pasti keasliannya datang dari Allah dan begitu juga hadis mutawatir adalah pasti datang dari rasulullah. Kepastian itu dapat diketahui karena baik alqur’an atau hadis mutawatir sampai kepada kita dengan riwayat yang mutawatir yang tidak ada kemungkinan adanya pemalsuan.
Adapun hal-hal yang menjadi lapangan ijtihad, seperti dikemukakan oleh Abdul Wahhab Khallaf, adalah masalah-masalah yang tidak pasti (zhanni) baik dari segi datangnya dari Rasulullah atau dari segi pengertiannya, yang dapat dikategorikan menjadi tiga macam:
1.  Hadis Ahad, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh orang seorang atau beberapa orang yang tidak sampai ke tingkat Hadis Mutawatir. Hadis Ahad dari segi kepastian datangnya dari Rasulullah hanya sampai ke tingkat dugaan kuat (zhanni) dalam arti tidak tertutup kemungkinan adanya pemalsuan meskipun sedikit.
2.  Lafal-lafal atau redaksi Al-qur’an atau Hadis yang menunjukan pengertiannya secara tidak tegas (zhanni) sehingga ada kemungkinan pengertian lain selain yang cepat ditangkap ketika mendengar bunyi lafal atau redaksi itu. Fungsi ijtihad disini adalah untuk mengetahui makna sebenarnya yang dimaksud oleh suatu teks.
3.  Masalah-masalah yang tidak ada teks ayat atau hadis dan tidak pula ada ijma’ yang menjelaskan hukumnya. Dalam hal ini ijtihad memainkan peranannya yang amat penting dalam rangka mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam alqur’an dan sunnah. Fungsi ijtihad disini adalah untuk meneliti dan menemukan hukumnya lewat tujuan hukum.

E. Macam-macam Ijtihad
Dilihat dari jumlahnya, ijtihad di bagi menjadi dua, yaitu:
1. Ijtihad Fardi
Menurut al-Thayyib Khuderi al-Sayyid, yang dimaksud dengan ijtihad fardi adalah ijtihad yang dilakukan oleh perorangan atau hanya beberapa orang mujtahid. Misalnya ijtihad yang dilakukan para ulama-ulama besar.
2. Ijtihad Jama’i
Dikenal dengan sebutan ijma’ dalam kitab-kitab ushul fiqh, yaitu kesepakatan para mujtahid dari umat Muhammad SAW. Ijtihad ini merupakan ijtihad yang membahas tentang masalah-masalah baru yang bermunculan yang berkaitan dengan ilmu selain fiqih, misalnya ilmu kedokteran, pertanian dan ilmu-ilmu sosial. Dalam hal ini perlu memperhatikan:
a) Masalah menentukan kelengkapan syarat-syarat sebagai mujtahid, dan yang akan ikut dalam ijtihad seperti ini adalah kepada penguasa muslim yang mengatur umat islam atau orang yang mewakili umat di dalam masyarakat dia berada.
b) Melibatkan para pakar berbagai bidang ilmu sesuai dengan permasalahan yang akan  di bahas.
c) Jika terjadi perbedaan pendapat dalam sidang, maka di ambil pendapat terbanyak.
d) Penguasa harusnya memberikan instruksi untuk menerapkan hasil ijtihad ini karena putusan ini akan mempunyai kekuatan yang mengikat. [4]

F. Syarat-syarat Ijtihad
  Dibukanya pintu ijtihad dalam hukum islam tidak berarti bahwa setiap orang dapat melakukan ijtihad. Hanya orang yang memiliki syarat-syarat tertentulah yang mampu berijtihad. Syarat-syarat tersebut ialah sebagai berikut:
1. Mengetahui bahasa Arab dengan segala seginya, sehingga memungkinkan dia menguasai pengertian susunan kata-katanya.
2. Mengetahui Al-Qur’an, dalam hal ini ialah hukum-hukum yang dibawa oleh Qur’an beserta ayat-ayatnya, dan mengetahui cara pengambilan hukum dari ayat tersebut.
3. Mengetahui hadis-hadis Nabi SAW., yaitu yang berhubungan dengan hukum-hukum syara’ sehingga ia dapat mendatangkan hadis-hadis yang diperlukan dengan mengetahui keadaan sanadnya.
4. Mengetahui segi-segi pemakaian qiyas, seperti illat dan hikmah penetapan hukum, serta mengetahui fakta-fakta yang ada nashnya dan yang tidak ada nashnya.
5. Mampu menghadapi nash-nash yang berlawanan, kadang-kadang dalam suatu persoalan terdapat beberapa ketentuan yang berlawanan.
Di samping syarat-syarat tersebut, seorang mujtahid juga harus:
a. Mengetahui ilmu ushul fiqih secara mantap karena ilmu ini merupakan dasar dan pokok dalam berijtihad.
b. Mengetahui ilmu-ilmu kemasyarakatan sebab penentuan hukum sangat erat hubungannya dengan kehidupan masyarakat atau lingkungan.

G. Tingkatan Ijtihad
Untuk menentukan tingkatan ijtihad, perlu diketahui jenis mujtahid, yang dapat dibagi dalam berikut ini:
1.  Mujtahid Mutlak; (Mujtahid Musyayar’i)
Seperti Imam Syafi’I, Maliki, Hambali, dan Hanafi, yaitu orang-orang yang melakukan ijtihad langsung secara keseluruhan dan Al Qur’an dan Hadits, dan seringkali mendirikan madzhab sendiri seperti halnya pada sahabat imam yang empat, yaitu Syafi’I, Hambali, Hanafi, dan maliki.
2. Mujtahid Mazdhab; (Mujtahid Fil Madzhab atau fatwa Mujtahid)
Yakni para mujtahid yang mengikuti suatu madzhab dan tidak membentuk madzhab tersendiri, tetapi dalam bebe apa hal, dalam berijtihad mereka berbeda pendapat dengan imamnya, misalnya, Imam Syafii tidak mengikuti pendapat gurunya Imm Maliki dalam beberapa masalah.
3.  Mujtahid Fil Masail ( Ijtihad Parsial dalam cabang-cabang tertentu),
Yaitu orang-orang yang berijtihad hanya pada beberapa masalah saja, jadi tidak dalam arti keseluruhan, namun mereka tidak mengikuti satu madzhab, misalnya, Hazairin berijtihad tentang hokum kewarisan Islam. Mahmus Junus berijtihad tentang hokum perkawinan, A. Hasan Bangil berijtihad tentang hokum kewarian dan hokum lainnya, Prof. Dr. H.M Rasyidi berijtihad tentang filsafat Islam
4.  Mujtahid Muqadiyyad
Yaitu orang-orang yang berijtihat yang mengikatkan diri dan mengikuti pendapat ulama salaf, dengan kesanggupan untuk menentukan nama yang lebih utama dan menentukan pendapat-pendapat yang berbeda beserta riwayat yang lebih kuat diantara riwayat itu, begitupun mereka memahami dalil-dalil yang menjadi dasar pendapat para mujtahid yang diikuti, misalnya, Sayuti Thalib, S. H. [5]





















BAB III
PENUTUP


A.  Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah disebutkan dapat disimpulkan bahwa Ijtihad berasal dari kata jahada. Artinya mencurahkan segala kemampuan atau menanggung beban kesulitan. Menurut bahasa, ijtihad adalah mencurahkan semua kemampuan dalam segala perbuatan.
Para ulama ushul fiqih menganggap ijtihad secara sah dapat dijadikan dalil hukum dengan berbagai dasar, diantaranya:
a) Qs. An-Nissa ayat 59 
b) Hadis rasulullah yang berisi dialog antara Rasulullah dengan Mu’az bin Jabal ketika ia dikirim untuk menjadi hakim di Yaman.

Dilihat dari jumlahnya, ijtihad di bagi menjadi dua, yaitu: Ijtihad Fardi dan Ijtihad Jama’i.

Dibukanya pintu ijtihad dalam hukum islam tidak berarti bahwa setiap orang dapat melakukan ijtihad. Hanya orang yang memiliki syarat-syarat tertentulah yang mampu berijtihad.



B.  Saran
    Demikianlah tugas penyusunan makalah ini kami persembahkan. Harapan kami agar makalah ini dapat bermanfaat dan dapat dipahami oleh para pembaca tentang Ijtihad. Kritik dan saran sangat kami harapkan dari para pembaca, khususnya dari dosen yang telah membimbing kami dan para mahasiswa demi kesempurnaan makalah ini. Apabila ada kekurangan dalam penyusunan makalah ini, kami minta maaf yang sebesar-besarnya.


[1] Drs. Atang ABD.Hakim, MA dan Dr. Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam,(Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2000), hlm.95

[2] Drs. Burhanudin, M.Ag, Fiqih Ibadah,(Bandung: CV.Pustaka Setia, 2001), hlm.131
[3] Op. Cit. hlm.99-100


[4] Drs. Burhanudin, M.Ag, Op. Cit. hlm.135-136


[5] Ibid. hlm.135-136

Tidak ada komentar:

Posting Komentar