PEMBAHASAN
IJTIHAD
A. Pengertian Ijtihad
Ijtihad berasal dari
kata jahada. Artinya mencurahkan segala kemampuan atau menanggung beban
kesulitan. Menurut bahasa, ijtihad adalah mencurahkan semua kemampuan dalam
segala perbuatan. [1]
Adapun ijtihad menurut para ahli ushul fiqh ialah pengerahan daya pikir
untuk menemukan suatu ketentuan hukum syara’. Adapun orang yang berkecimpung
dalam bidang ini dinamakan mujtahid.
A.Wasit Awlawi mendefinisikan bahwa ijtihad ialah mencurahkan daya dan
kemampuan intelektual untuk memperoleh jawaban hukum syara’ dari
dalil-dalilnya.
Jadi, berijtihad berarti menyelidiki dalil-dalil hukum dari sumbernya yang
resmi, yaitu Al-Qur’an dan Hadis Rasulullah SAW., kemudian menarik garis hukum
darinya dalam masalah tertentu atau beberapa masalah. Misalnya, berijtihad dari
Al-Qur’an dan Hadis mengalirkan garis kewarisan, hukum perkawinan atau
keduanya. Orang yang melakukan ijtihad dinamakan mujtahid. Jamaknya
adalah mujtahidin. Hasil ijtihadnya adalah qiyas, istihsan, atau ijma’
atau garis hukum baru tentang suatu masalah. [2]
B. Dasar Hukum Ijtihad.
Para ulama ushul fiqih menganggap ijtihad
secara sah dapat dijadikan dalil hukum dengan berbagai dasar, diantaranya:
a) Qs. An-Nissa ayat 59
a) Qs. An-Nissa ayat 59
Artinya : “Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.
kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya.”
Ayat ini menunjukan bahwa jika ada perselisihan pendapat di antara ulama tentang hukum suatu masalah, maka jalan keluarnya dengan mengembalikannya pada al-quran dan sunnah rasulullah. Cara mengembalikannya antara lain dengan melakukan ijtihad.
Ayat ini menunjukan bahwa jika ada perselisihan pendapat di antara ulama tentang hukum suatu masalah, maka jalan keluarnya dengan mengembalikannya pada al-quran dan sunnah rasulullah. Cara mengembalikannya antara lain dengan melakukan ijtihad.
b) Hadis rasulullah yang berisi dialog antara
Rasulullah dengan Mu’az bin Jabal ketika ia dikirim untuk menjadi hakim di
Yaman.
عَنْ الحَرِثِ بْنِ عَمْرٍو عَن رِجَالٍ مِنْ اَسْحَابِ مُعَادٍ أَنَّ
رَسُولَ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ مُعَاذًا الَى اليَمَنِ
فَقَال: كَيْفَ تَقْضِي فَقَال أَقْضِي بِمَا فِي كِتابِ الله قَال فإِنْلَم
يَكُنْ في كِتابِ الله قَال فَبِسُنَّةِ رَسُوْلِ الله صَلّى الله عَليْه وَ سَلّم
قَال فإِنْلَم يَكُنْ
في سُنَّةِ رَسُول الله صَلّى الله عَليهِ وَ سَلّم قَال أَجْتَحِدُ
رَأْيِي قَال الْحَمْدُل الله الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ الله صَلَّى الله عَلَيهِ
وَ سَلَّمَ .{ رواه الترمذى}
Dari al-Harits bin Amr, dari sekelompok
orang teman-teman Mu’az, sesungguhnya Rasulullah SAW mengutus Mu’az ke yaman,
maka beliau bertanya kepada Mu’az, atas dasar apa kamu memutuskan suatu
persoalan, dia jawab, dasarnya adalah Kitab Allah, Nabi bertanya: “Kalau tidak
kamu temukan dalam kitab Allah?”, dia menjawab dengan dasar sunnah Rasulullah
SAW. Beliau bertanya lagi: “Kalau tidak anda temukan dalam sunnah rasul?”,
Mu’az menjawab aku akan berijtihad dengan penalaranku, maka nabi berkata:
“Segala pujian bagi Allah yang telah memberi tawfiq atas diri utusan
Rassulullah SAW. (HR. Tirmidzi) [3]
C. Kedudukan dan Fungsi
Ijtihad
Para ulama Ushul Fiqh antara lain
al-tayyib Khuderi al-Sayyid, seorang ahli ushul fiqh berkebangsaan mesir
berpendapat bahwa bila mana syarat-syarat untuk berijtihad telah cukup pada
diri seseorang, hukum melakukan ijtihad adalah fardhu ‘ain, bisa juga fardhu
kifayah, bisa mandub (sunah), dan bisa pula menjadi haram.
1. Hukum fardhu ‘ain.
Jika dilakuakan seseorang yang telah mencukupi syarat bilamana terjadi pada
dirinya sesuatu yang membutuhkan jawaban hukumnya.
2. Hukum fardhu kifayah.
Jika di sampingnya ada lagi mujtahid lain yang akan menjelaskan hukumnya. Bila
salah satu dari mereka telah berijtihad, maka meraka sudah lepas dari tuntutan
untuk berijtihad.
3. Hukumnya sunnah. Terbagi
dalam dua hal, yaitu:
a) Melakuakan ijtihad kepada
hal yang belum terjadi tanpa ditanya, seperti yang dilakukan oleh Imam Abu
Hanifah yaitu tentang fiqih ifradhi (fiqih pengandaian).
b) Melakukan ijtihad-ijtihad
pada masalah yang belum jadi berdasarkan pertanyaan seseorang.
4. Hukumnya haram,
apabila:
a) Berijtihad dalam hal-hal yang
ada nash yang tegas (qath’iy) baik berupa ayat atau hadits Rasulullah, atau
hasil ijtihad itu menyalahi ijma’.
b) Berijtihad bagi seseorang
yang tidak melangkapi syarat-syarat sebagai mujathid, karena oarang yang tidak
memenuhi syarat ijtihadnya tidak akan menemukan kebenaran, karena berbicara
tanpa ilmu hukumnya adalah haram.
Ø Fungsi Ijtihad
Imam
Syafi’I ra (150 H-204 H), penyusun pertama Ushul Fiqh, dalam bukunya Ar-Risalah, ketika menggambarkan
kesempurnaan Alqur’an menegaskan: “Maka tidak terjadi suatu peristiwa pun pada
seorang pemeluk agama Allah, kecuali dalam kitab Allah terdapat petunjuk
tentang hukumnya”. Menurutnya, hukum-hukum yang dikandung oleh al-qur’an yang bisa
menjawab berbagai permasalahan itu harus digali dengan kegiatan ijtihad.
Oleh karena
itu, menurutnya, Allah mewajibkan kepada hamba-Nya untuk berijtihad dalam upaya
menimba hukum-hukum dari sumbernya itu. Selanjutnya ia mengatakan bahwa Allah
menguji ketaatan seseorang untuk melakukan ijtihad, sama halnya seperti Allah
menguji ketaatan hamba-Nya dalam hal-hal yang diwajibkan lainnya.
Pernyataan
Imam Syafi’i di atas, menggambarkan betapa pentingnya kedudukan ijtihad di
samping Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Ijtihad berfungsi baik untuk
menguji kebenaran riwayat hadis yang tidak sampai ke tingkat hadis mutawatir
seperti hadis ahad, atau sebagai upaya memahami redaksi ayat atau hadis yang
tidak tegas pengertiannya sehingga tidak langsung dapat dipahami kecuali dengan
ijtihad, dan berfungsi untuk mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat
dalam Al-Qur’an dan Sunnah seperti dengan qiyas, istihsan, dan masalah mursalah. Hal yang disevut terakhir
ini, yaitu pengembangan prinsip-prinsip hukum dalam alqur’an dan sunnah adalah
penting.
D. Lapangan Ijtihad
Para ulama
Ushul Fiqh sepakat bahwa ayat-ayat atau hadis rasulullah yang sudah tidak
diragukan lagi kepastiaanya (qath’i) datang
dari Allah atau Rasul-Nya, seperti alqur’an dan hadis mutawatir (hadis yang diriwayatkan
oleh sekelompok orang yang tidak mungkin berbohong), bukan lagi merupakan
lapangan ijtihad dari segi periwayatannya. Alqur’an yang beredar di kalangan
umat islam sekarang ini adalah pasti keasliannya datang dari Allah dan begitu
juga hadis mutawatir adalah pasti datang dari rasulullah. Kepastian itu dapat
diketahui karena baik alqur’an atau hadis mutawatir sampai kepada kita dengan
riwayat yang mutawatir yang tidak ada kemungkinan adanya pemalsuan.
Adapun
hal-hal yang menjadi lapangan ijtihad, seperti dikemukakan oleh Abdul Wahhab
Khallaf, adalah masalah-masalah yang tidak pasti (zhanni) baik dari segi datangnya dari Rasulullah atau dari segi
pengertiannya, yang dapat dikategorikan menjadi tiga macam:
1. Hadis
Ahad, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh orang seorang atau beberapa orang
yang tidak sampai ke tingkat Hadis Mutawatir. Hadis Ahad dari segi kepastian
datangnya dari Rasulullah hanya sampai ke tingkat dugaan kuat (zhanni) dalam arti tidak tertutup
kemungkinan adanya pemalsuan meskipun sedikit.
2. Lafal-lafal atau redaksi Al-qur’an atau Hadis
yang menunjukan pengertiannya secara tidak tegas (zhanni) sehingga ada kemungkinan pengertian lain selain yang cepat
ditangkap ketika mendengar bunyi lafal atau redaksi itu. Fungsi ijtihad disini
adalah untuk mengetahui makna sebenarnya yang dimaksud oleh suatu teks.
3. Masalah-masalah yang
tidak ada teks ayat atau hadis dan tidak pula ada ijma’ yang menjelaskan
hukumnya. Dalam hal ini ijtihad memainkan peranannya yang amat penting dalam
rangka mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam alqur’an dan
sunnah. Fungsi ijtihad disini adalah untuk meneliti dan menemukan hukumnya
lewat tujuan hukum.
E. Macam-macam Ijtihad
Dilihat dari jumlahnya, ijtihad di
bagi menjadi dua, yaitu:
1. Ijtihad Fardi
Menurut al-Thayyib Khuderi
al-Sayyid, yang dimaksud dengan ijtihad fardi adalah ijtihad yang dilakukan
oleh perorangan atau hanya beberapa orang mujtahid. Misalnya ijtihad yang
dilakukan para ulama-ulama besar.
2. Ijtihad
Jama’i
Dikenal dengan sebutan ijma’ dalam
kitab-kitab ushul fiqh, yaitu kesepakatan para mujtahid dari umat Muhammad SAW.
Ijtihad ini merupakan ijtihad yang membahas tentang masalah-masalah baru yang
bermunculan yang berkaitan dengan ilmu selain fiqih, misalnya ilmu kedokteran,
pertanian dan ilmu-ilmu sosial. Dalam hal ini perlu memperhatikan:
a) Masalah
menentukan kelengkapan syarat-syarat sebagai mujtahid, dan yang akan ikut dalam
ijtihad seperti ini adalah kepada penguasa muslim yang mengatur umat islam atau
orang yang mewakili umat di dalam masyarakat dia berada.
b) Melibatkan
para pakar berbagai bidang ilmu sesuai dengan permasalahan yang akan di bahas.
c) Jika
terjadi perbedaan pendapat dalam sidang, maka di ambil pendapat terbanyak.
d) Penguasa harusnya memberikan instruksi untuk
menerapkan hasil ijtihad ini karena putusan ini akan mempunyai kekuatan yang
mengikat. [4]
F.
Syarat-syarat Ijtihad
Dibukanya
pintu ijtihad dalam hukum islam tidak berarti bahwa setiap orang dapat
melakukan ijtihad. Hanya orang yang memiliki syarat-syarat tertentulah yang
mampu berijtihad. Syarat-syarat tersebut ialah sebagai berikut:
1. Mengetahui bahasa Arab dengan
segala seginya, sehingga memungkinkan dia menguasai pengertian susunan
kata-katanya.
2. Mengetahui Al-Qur’an, dalam hal
ini ialah hukum-hukum yang dibawa oleh Qur’an beserta ayat-ayatnya, dan
mengetahui cara pengambilan hukum dari ayat tersebut.
3. Mengetahui hadis-hadis Nabi
SAW., yaitu yang berhubungan dengan hukum-hukum syara’ sehingga ia dapat
mendatangkan hadis-hadis yang diperlukan dengan mengetahui keadaan sanadnya.
4. Mengetahui segi-segi pemakaian
qiyas, seperti illat dan hikmah penetapan hukum, serta mengetahui fakta-fakta
yang ada nashnya dan yang tidak ada nashnya.
5. Mampu menghadapi nash-nash yang
berlawanan, kadang-kadang dalam suatu persoalan terdapat beberapa ketentuan
yang berlawanan.
Di samping syarat-syarat tersebut, seorang mujtahid juga harus:
a. Mengetahui ilmu ushul fiqih
secara mantap karena ilmu ini merupakan dasar dan pokok dalam berijtihad.
b. Mengetahui ilmu-ilmu
kemasyarakatan sebab penentuan hukum sangat erat hubungannya dengan kehidupan
masyarakat atau lingkungan.
G.
Tingkatan Ijtihad
Untuk menentukan tingkatan ijtihad,
perlu diketahui jenis mujtahid, yang dapat dibagi dalam berikut ini:
1. Mujtahid Mutlak; (Mujtahid Musyayar’i)
Seperti Imam Syafi’I, Maliki,
Hambali, dan Hanafi, yaitu orang-orang yang melakukan ijtihad langsung secara
keseluruhan dan Al Qur’an dan Hadits, dan seringkali mendirikan madzhab sendiri
seperti halnya pada sahabat imam yang empat, yaitu Syafi’I, Hambali, Hanafi,
dan maliki.
2. Mujtahid Mazdhab; (Mujtahid Fil Madzhab atau
fatwa Mujtahid)
Yakni para
mujtahid yang mengikuti suatu madzhab dan tidak membentuk madzhab tersendiri,
tetapi dalam bebe apa hal, dalam berijtihad mereka berbeda pendapat dengan imamnya,
misalnya, Imam Syafii tidak mengikuti pendapat gurunya Imm Maliki dalam
beberapa masalah.
3. Mujtahid Fil Masail ( Ijtihad Parsial dalam
cabang-cabang tertentu),
Yaitu
orang-orang yang berijtihad hanya pada beberapa masalah saja, jadi tidak dalam
arti keseluruhan, namun mereka tidak mengikuti satu madzhab, misalnya, Hazairin
berijtihad tentang hokum kewarisan Islam. Mahmus Junus berijtihad tentang hokum
perkawinan, A. Hasan Bangil berijtihad tentang hokum kewarian dan hokum
lainnya, Prof. Dr. H.M Rasyidi berijtihad tentang filsafat Islam
4. Mujtahid Muqadiyyad
Yaitu
orang-orang yang berijtihat yang mengikatkan diri dan mengikuti pendapat ulama
salaf, dengan kesanggupan untuk menentukan nama yang lebih utama dan menentukan
pendapat-pendapat yang berbeda beserta riwayat yang lebih kuat diantara riwayat
itu, begitupun mereka memahami dalil-dalil yang menjadi dasar pendapat para
mujtahid yang diikuti, misalnya, Sayuti Thalib, S. H. [5]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
pembahasan yang telah disebutkan dapat disimpulkan bahwa Ijtihad berasal dari kata jahada. Artinya mencurahkan
segala kemampuan atau menanggung beban kesulitan. Menurut bahasa, ijtihad
adalah mencurahkan semua kemampuan dalam segala perbuatan.
Para ulama ushul fiqih menganggap ijtihad
secara sah dapat dijadikan dalil hukum dengan berbagai dasar, diantaranya:
a) Qs. An-Nissa ayat 59
a) Qs. An-Nissa ayat 59
b) Hadis rasulullah yang berisi dialog antara
Rasulullah dengan Mu’az bin Jabal ketika ia dikirim untuk menjadi hakim di
Yaman.
Dilihat dari jumlahnya, ijtihad di
bagi menjadi dua, yaitu: Ijtihad Fardi dan Ijtihad Jama’i.
Dibukanya pintu ijtihad dalam hukum islam tidak berarti
bahwa setiap orang dapat melakukan ijtihad. Hanya orang yang memiliki
syarat-syarat tertentulah yang mampu berijtihad.
B.
Saran
Demikianlah tugas penyusunan makalah ini
kami persembahkan. Harapan kami agar makalah ini dapat bermanfaat dan dapat
dipahami oleh para pembaca tentang Ijtihad. Kritik dan saran sangat kami
harapkan dari para pembaca, khususnya dari dosen yang telah membimbing kami dan
para mahasiswa demi kesempurnaan makalah ini. Apabila ada kekurangan dalam
penyusunan makalah ini, kami minta maaf yang sebesar-besarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar